HOERIAH ADAM TOKOH TARI MINANGKABAU
HOERIAH ADAM TOKOH TARI MINANGKABAU
Sistim kekerabatan yang dipakai
di Minangkabau adalah sistim kekerabatan berdasarkan garis keturunan ibu yang
disebut Matrilinial. Rumah adat yang disebut sebagai Rumah Gadang, merupakan symbol kekerabatan yang dipakai. Pada
disain bangunan adat Rumah Gadang ini sarat dengan symbol atau filosofi adat
istiadat yang dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.
Melihat dari garis keturunan atau
sisitim kekerabatan berdasarkan garis keturuan ibu, peran perempuan sangat
dominan dalam kehidupan social masyarakat Minangkabau. Terutama dalam mengawasi
dan mendidik anak-anak dalam keluarga. Semua pengawasan itu tentu berdampingan
dengan saudara laki-laki ibu atau paman (mamak),
dan semua saudara laki-laki dewasa lainnya yang ada dalam lingkaran rumah
gadang.
Hoeriah Adam lahir di Padang
Panjang, 6 Oktober 1936. Ia merupakan putri dari seorang ulama Minangkabau
Syech Adam Balai-Balai yang juga sangat berminat mengembangkan kesenian di
Minangkabau. Hoeriah Adam merupakan perempuan satu-satunya dalam keluarga.
Hampir semua keluarga Horiah Adam menggeluti dunia seni baik music, tari,
bahkan dunia lukis. Sehingga darah seni yang ada dalam dirinya mengalir menjadi
sebuah kekuatan yang luar biasa dalam melahirkan karya-karya tari yang
mendunia.
Setelah lulus dari Sekolah
Menengah Pertama di Padang Panjang, Hoeriah mulai mempelajari silat dari
seorang guru silat yang bernama Pakiah Nandung. Lebih kurang 3 tahun bersama
Pakiah Nandung yang berusia hampir seabad waktu itu, Hoeriah banyak mengali llmu silat dan
kekayaan seni tari tradisional Minangkabau. Semua bentuk tarian yang dipelajari
Hoeriah, berlatar belakang silat tradisi Minangkabau.
Tarian tradisi Minangkabau yang
dipelajari Hoeriah Adam dari Pakiah Nandung seperti, tari Sewa, tari Sijundai,
tari Alang Bentan, tari Adaw-Adaw, tari Pado-Pado, Tari Adok, Tari Padang, tari
Piring, tari Sibandindin, tari Galombang. Semua tarian itu dikuasai Hoeriah
dengan baik.
Pada tahun 1955, Hoeriah Hijrah
ke Yogjakarta untuk memperdalam ilmu seninya, di Akademi Seni Rupa Indonesia
(ASRI). Namun belum sempat menamatkan kuliahnya, Hoeriah kembali ke Padang
Panjang dan menikah dengan guru biolanya Ramudin. Tepatnya pada tanggal 1
Januari 1957.
Setelah menikah kegiatan
keseniannya tidak terhenti. Ramudin sebagai suami sangat mendorong Hoeriah
untuk selalu berkesenian dan melahirkan beragam karya tari. Baik tradisi maupun
tari-tari kreasi baru saat itu.
Dalam suasana pertikaian
Pemerintahan Rovolusioner Republik Indonesia (PRRI), sebagai anak bangsa yang
mencintai tanah leluhurnya, Hoeriah dan tim keseniannya justru mengadakan
pertunjukan di setiap desa di Sumatera Barat. Saat itu Ia tercatat telah
mengadakan pertunjukan 112 kali. Diawali pada tanggal 8 Mei 1958 di kota
Bukittinggi. 4 hari setelah angkatan perang Republik Indonesia membebaskan kota
Padang Panjang dari pendukung PRRI.
Pada tahun 1963, tim kesenian
sumatera Barat yang dipimpin oleh Hoeriah Adam, terpilih dan tampil pada
Indonesia Cultural Evining, di Istana Olah Raga Bung Karno Jakarta. Tim Hoeriah
membawakan tari Sandang pangan, tari Nina Bobok dan tari Sandang Pangan.
Pertunjukan tim Hoeriah saat itu cukup sukses dan mendapat sambutan baik. Usai
pertunjukan waktu itu membuat tim kesenian yang dipimpin Hoeriah Adam sering
mendapat undangan untuk tampil di Jakarta.
Pasang surut berkesenian juga
pernah dialami Hoeriah Adam. Puncaknya setelah penumpasan G30SPKI Hoeriah fakum
di dunia tari. Untuk sementara ia mengisi waktu dengan melakukan kegiatan
melukis. Kegiatan itu ia lakukan sebagai upaya untuk mencari nafkah atau
membantu ekonomi keluarganya.
Dalam situasi pergulatan bathin
antara karir dan ekonomi keluarga saat itu, Hoeriah mulai merasa kota Padang
Panjang tidak lagi dapat menjadi tumpuan untuk mengembangkan karir
berkeseniannya. Ia merasa asing di tanah leluhur sendiri. Ia merasa tak
diterima oleh sebagian masyarakatnya. Maka pada tahun 1968, ia memutuskan untuk
pindah ke Jakarta. Tak ada yang tahu, bagaimana pahit dan getir hatinya
meninggalkan kota kelahirannya saat itu. Ia Hijrah ke Jakarta dengan menitipkan
harapan baru akan perkembangan karir dan kelangsungan hidup keluarga yang lebih
baik lagi.
Pada tahun 1971, Hoeriah mulai
menjadi tenaga pengajar di Akademi Tari, Teater Lembaga Pendidikan Kesenian
Jakarta (LPKJ), dan Akademi Seni Kerawitan Indonesia Padang Panjang. Dengan
mengajar di dua tempat ini, membuat ia harus bolak balik naik pesawat antara
Padang dan Jakarta.
Sepanjang hidupnya Hoeriah banyak
menulis sajak-sajak. Beberapa bulan sebelum akhir hayatnya, ia berkata kepada
rekannya. “AKU TAK INGIN MATI DIKUBUR,
AKU INGIN MATI HILANG BEGITU SAJA”. Begitu kalimat yang ada dalam satu
sajaknya, yang bertanggal 24 Maret 1963”.
Hoeriah menulis, “ TEMPAT TERAKHIR TAKAN DAPAT DICARI, TEMPAT
YANG BEGITU NYAMAN, SEJUK BERJUTA MAHKLUK BERUSAHA MENCARI”. Sajak ini
seakan menjadi kenyataan dalam hidupnya. Pada tanggal 10 November 1971,Pesawat
Merpati yang membawa dirinya dari Jakarta ke kota Padang, mendapat kecelakaan,
jatuh di pulau Katang-Katang Pesisir Selatan Sumatera Barat. Sejak saat itu
sampai sekarang, Jasat Hoeriah Adam
tidak dapat diketemukan lagi.
Horiah merupakan ibu dari lima
orang anaknya yakni Moehamad Ihklas, Murniati, Moehammad Jujur, Suciati, dan
Rela Hati. Sepeninggalan Hoeriah, namanya diabadikan untuk bengkel tari di
Taman Ismail Marzuki. “BENGKEL TARI HOERIAH ADAM”.
Sumber : Youtube Indonesia Dance
Channel, ensiklopedia DKI Jakarta, Picuki.com
Penulis : Benny Krisnawardi
Komentar
Posting Komentar